Artikel ini pada awalnya diterbitkan pada 7 Mei 2022 di situs e-flux untuk edisi Bahasa Inggris dan di situs Berliner Zeitung untuk edisi Bahasa Jerman.
Ini adalah surat dari ruangrupa, tim artistik documenta fifteen, dan para kurator forum berjudul We need to Talk! Art — Freedom — Solidarity (Kita perlu Bicara! Seni – Kebebasan – Solidaritas) tentang pembatalan forum, yang baru saja dibatalkan, yang mencerminkan perdebatan yang tengah berlangsung di Jerman seputar edisi documenta yang akan datang.
Dengan sangat menyesal kami mengumumkan bahwa forum diskusi “We need to talk”, yang sedianya diadakan sebagai tanggapan atas tuduhan antisemitisme yang ditujukan kepada partisipan documenta fifteen, telah ditangguhkan. Setelah berdiskusi intensif dengan para pengisi forum tersebut, menjadi jelas bahwa tuduhan yang ditujukan kepada documenta fifteen dan forum itu sendiri saat ini telah menutup kemungkinan untuk melakukan diskusi yang bebas dan produktif. Sebagai tanggapan atas kritik yang disampaikan oleh Josef Schuster, presiden Central Council of Jews (Dewan Pusat Yahudi) di Jerman, mengenai susunan pengisi forum, beberapa pengisi acara tersebut mengundurkan diri, atau mempertimbangkan untuk mundur, hanya beberapa hari sebelum pembukaan forum yang sudah direncanakan. Forum tersebut dirancang untuk menghadapi dan mempermasalahkan secara menyeluruh tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan tersebut sebetulnya tidak betul dan tidak ada kaitannya dengan posisi documenta fifteen dan ruangrupa secara institusional. Akan jelas dalam pameran yang akan dibuka secara resmi nanti, bahwa baik karya dan program documenta fifteen, tidak menunjukkan sedikitpun kecenderungan antisemit. Dengan demikian, diskusi yang diharapkan berkembang akan lebih produktif sesuai dengan tema lumbung.
Secara tegas kami menyatakan bahwa tidak ada pernyataan yang bernuansa antisemitisme dalam bentuk apa pun yang disampaikan dalam konteks documenta fifteen. Dengan keras kami menampik tuduhan ini dan menolak untuk menerima mentah-mentah upaya yang dilandasi itikad buruk yang dilakukan untuk mendelegitimasi para seniman, menghalangi dan secara preventif menyensor mereka atas dasar latar belakang budaya, etnis serta praduga posisi politik para seniman. [1] Selain itu, documenta fifteen juga tidak pernah berencana untuk menyelenggarakan acara yang menampilkan gerakan yang diprakarsai oleh Palestina, yaitu Boycott, Divestment and Sanction atau yang dikenal sebagai BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi) seperti yang dituduhkan.
Berikut kronologi tuduhan tersebut :
Pada Januari 2022, Sebuah tulisan di blog WordPress milik “Alliance Against Anti-Semitism Kassel” (“Aliansi Menentang Anti-Semitisme Kassel) menuduh kurator dan beberapa seniman documenta fifteen bersikap antisemitisme. Terlepas dari namanya, “aliansi” ini tampaknya hanya terdiri dari satu orang yang memiliki hubungan dengan kelompok sempalan ekstremis. Apa yang disebut sebagai “aliansi” ini tidak ada hubungannya dengan Komunitas Yahudi Kassel.
Tuduhan yang diterbitkan untuk pertama kalinya di blog tersebut dengan slogan “There Is No Anti-Zionism Without Anti-Semitism” (“Tidak Ada Anti-Zionisme Tanpa Anti-Semitisme”), terus menghantui documenta fifteen dan para senimannya hingga hari ini. Teks blog tersebut secara terbuka ditujukan sebagai ajakan untuk tidak mengundang, dan melakukan pembungkaman para seniman, serta memecat tuan rumah dan kurator. Anggota tim seleksi dan tim artistik dituduh berada di kubu yang sama dengan orang-orang yang “mempromosikan kebencian terhadap Israel” dengan alasan bahwa mereka telah menandatangani surat terbuka “Nothing Can Be Changed Until Faced” (“Tidak Ada yang Dapat Diubah Sebelum Dihadapi”) bersama dengan sekitar 1.500 penandatangan lain, yang banyak di antaranya adalah orang Yahudi, dan juga banyak di antaranya adalah warga negara Israel. Surat tersebut sama sekali tidak mempromosikan kebencian terhadap Israel atau Yahudi, tetapi sebaliknya menyatakan bahwa Resolusi BDS 2019 yang dikeluarkan oleh Parlemen Jerman merupakan ancaman terhadap kebebasan artistik dan kebebasan berbicara.
Namun, surat terbuka tersebut secara eksplisit juga menyatakan bahwa para penandatangan memiliki pandangan yang beragam tentang BDS, baik yang pro maupun yang kontra. Para penandatangan surat tersebut percaya bahwa pelarangan terhadap pembahasan tentang BDS merupakan hal yang kontraproduktif dan berbahaya. Tuduhan yang ditujukan kepada documenta fifteen saat ini memang menunjukkan betapa relevan kritik terhadap resolusi Bundestag yang disampaikan dalam surat itu. Terlepas dari fakta bahwa resolusi tersebut merupakan opini yang tidak mengikat yang dikeluarkan oleh badan legislatif periode legislatif yang sebelumnya, dan bahwa sejak saat itu banyak pengadilan Jerman yang kemudian memutuskan bahwa implementasi praktisnya melanggar konstitusi Jerman, efek riaknya tetap ada: tanpa harus mendukung atau membela BDS pun seseorang dengan mudah diberi label antisemit hanya karena mengangkat suara untuk menentang pengucilan total terhadap siapa pun dari lembaga publik yang pernah mendukung BDS. Nalar dan pola pikir yang mencemaskan ini sudah dapat diamati dalam perdebatan seputar “Initiative GG 5.3 Weltoffenheit”.
Narasi blog yang ditulis oleh “Alliance Against Anti-Semitism Kassel” kemudian menjadi lebih agresif dalam mengutuk sebuah kolektif asal Palestina, “The Question of Funding” (TQoF) yang diundang oleh documenta fifteen. Salah satu seniman TQoF dituduh sebagai “preman antisemit” sebagai akibat dari kesalahan dalam menafsirkan berdasarkan tafsir yang keliru atas teks fiksi. Dalam tiga lompatan yang patut dipertanyakan, narasi blog tersebut mengubah Khalil Sakakini, seorang pendidik Palestina progresif pada paruh pertama abad kedua puluh menjadi sosok antisemit yang fanatik dengan cara mengutip dari Wikipedia yang sebagian diringkas dan keliru. Akibatnya, sebuah pusat kegiatan kebudayaan yang dinamai Sakakini di Ramallah, dan “The Question of Funding”, yang terhubung dengan pusat budaya tersebut, dilihat sebagai tong sampah antisemitisme. [2] Jurnalis Joseph Croitoru dan Elke Buhr telah mengungkapkan bahwa penggambaran ini sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan; sejarawan Jens Hanssen juga telah menggambarkan betapa kompleksnya sosok Sakakini yang sebenarnya. Sekilas situs web pusat Sakakini menunjukkan bahwa lembaga tersebut adalah lembaga terkemuka yang sering bekerja sama dengan banyak organisasi internasional, termasuk yayasan asal Jerman yang berafiliasi ke partai politik Jerman, seperti Konrad-Adenauer-Stiftung.
Selain melancarkan tuduhan palsu, narasi di blog tersebut juga mengaburkan beberapa humor bernuansa rasis, sebagai berikut: “ruangrupa telah meluncurkan apa yang disebut ‘lumbung’, yang bukan berupa minuman campuran beralkohol, tetapi berarti ‘lumbung padi yang dikelola secara kolektif’”. Pernyataan ini mengacu pada sebuah lelucon rasis dan kekanak-kanakan yang memberi sebutan “Lumumba” untuk koktail campuran kakao dan minuman rum. Sebutan ini berasal dari nama mantan presiden dan pejuang kemerdekaan Kongo yang dibunuh, yaitu Patrice Lumumba. Lelucon rasis semacam itu berkelindan dengan tuduhan antisemitisme yang diadopsi oleh banyak surat kabar besar Jerman, dimana yang sebagian besar tidak kritis dan melanggar standar dasar jurnalistik. Sungguh ironis bahwa pemalsuan sejarah yang dilakukan atas nama pembungkaman dan penyensoran kebebasan berbicara dan berekspresi diadopsi begitu saja dengan alasan “tanggung jawab historis” khusus Jerman, sebenarnya cukup ironis. Konsekuensinya sangat serius, karena, bagaimanapun, hal itu mengungkapkan kedekatan yang berbahaya antara ketidaktahuan akan sejarah Jerman dan fitnah yang bersifat rasis.
Semakin jelas bisa dibaca dari blog tersebut bahwa yang sebenarnya mengusik penulisnya tentang documenta fifteen serta forum yang dibatalkan tersebut adalah perspektif bahwa dunia bagian selatan harus diperlakukan secara “setara.” Keragaman dianggap sebagai ancaman bagi hegemoni diskursif Jerman. Upaya untuk menjelek-jelekkan seniman Palestina secara individu sebagai figur yang antisemit, baik secara langsung maupun dengan cara “bersalah karena keterhubungan”, justru merupakan cara pembunuhanan karakter yang sering muncul dalam wacana ekstrem kanan dan sayap kanan. Bahwa tuduhan semacam itu dibuat oleh “Aliansi” berdasarkan penelitian internet amatiran dan informasi yang salah, sudah cukup tercela. Namun, yang lebih tercela lagi adalah kenyataan bahwa tuduhan yang sama kemudian didengungkan tanpa kritik oleh koran-koran terkemuka Jerman. Koran-koran tersebut tampaknya lumayan ceroboh dan gagal paham akan topik penting seperti antisemitisme sehingga mereka merasa cukup puas dengan hanya menyebarkan rumor. Dan hal ini menjadi catatan penting bagi kami.
Berikut ini, kami ingin menyampaikan beberapa poin yang dikemukakan dalam surat dari Presiden Dewan Pusat Yahudi di Jerman, Josef Schuster, kepada Menteri Negara untuk Kebudayaan dan Media, Claudia Roth. Surat ini telah dikutip oleh media massa dalam beberapa hari terakhir. Kami menyambut baik surat Dewan Pusat sebagai kontribusi bagi debat publik dan menanggapi keprihatinan yang diungkapkan di dalamnya dengan serius. Namun, menurut pandangan kami, komunikasi dengan Dewan Pusat telah menyimpang sehingga dokumen publik tersebut perlu dikoreksi. Tuduhan bahwa susunan forum menampilkan “bias yang jelas terhadap antisemitisme [sic!]” sama sekali tidak berdasar.
Bertentangan dengan klaim surat itu, direktur pelaksana Dewan Pusat telah diberitahu tentang niat dan konseptualisasi rangkaian diskusi yang direncanakan diadakan pada Maret 2022 tersebut melalui komunikasi yang intens. Dewan Pusat telah diberitahu segera setelah rincian program forum diselesaikan dan sebelum dipublikasikan. Rangkaian diskusi tersebut disusun sesuai kriteria ilmiah, latar belakang serta kepakaran internasional para pengisi forum. Berbagai suara dan posisi individu, lembaga dan organisasi yang relevan diperhitungkan. Perwakilan resmi dari komunitas agama, partai dan asosiasi sengaja tidak diundang. Bukan tugas lembaga seni untuk mengundang perwakilan semacam itu. Tidak pernah ada keterlibatan organisasi yang mengikat dari Dewan Pusat (atau badan lainnya). Namun, tim penyelenggara memang memasukkan saran mengenai pembicara dan konten ke dalam konsep keseluruhan. Tim penyelenggara juga memastikan untuk mengundang berbagai perspektif—termasuk yang dekat dengan posisi resmi Dewan Pusat dan, dalam beberapa kasus, juga yang terlibat secara kelembagaan dengan Dewan Pusat. Dengan demikian, masalahnya sebenarnya bukan karena posisi Dewan Pusat tidak terwakili. Sebaliknya, tampaknya masalah sebenarnya adalah penolakan dari beberapa orang yang berupaya mencegah intelektual terpandang untuk berkontribusi pada forum hanya karena berbeda pandangan.
Kritik terhadap konseptualisasi multi-arah dari panel-panel forum yang sudah direncanakan, seperti yang telah diungkapkan oleh Dewan Pusat dan beberapa media, dengan jelas menunjukkan bahwa di Jerman, sulit untuk membawa kedua perspektif—perspektif yang dipengaruhi oleh antisemitisme dan yang dipengaruhi oleh anti-Muslim dan anti-Palestina—untuk diperbincangkan dalam sebuah forum yang bertujuan untuk berdialog. Kami menyepakati pendapat bahwa antisemitisme berdampak pada orang-orang Yahudi dan orang-orang yang diidentifikasi sebagai Yahudi dan bahwa perspektif Yahudi tidak pernah boleh diabaikan. Namun, perlu juga disepakati bersama bahwa orang-orang yang mengalami perlakuan rasialis juga perlu diberi kesempatan untuk mengutarakan suara mereka, khususnya dalam perbincangan tentang efek rasis sebagai dampak rumor palsu yang dikenakan atas mereka. Tuduhan “kedekatan BDS”, yang merupakan asal-usul tuduhan “antisemitisme terkait Israel” ini, terutama berdampak pada orang-orang dari belahan dunia Selatan dan khususnya dari Timur Tengah. Hal ini telah menyebabkan penyensoran, pengucilan, dan penolakan. [3] Justru konstelasi inilah yang menjadi pertimbangan forum. Oleh karena itu kami sepenuhnya menolak kritik terhadap tuduhan sepihak dari berbagai arah terhadap panel diskusi yang sedianya akan kami selenggarakan.
Karena masalah nyata pendudukan Israel, yang melanggar hukum internasional, tidak dapat diselesaikan secara diskursif dalam kelompok diskusi di Jerman, kami juga tidak dapat menyelesaikan kontradiksi yang muncul dalam evaluasi atas pendudukan ini dan penentangan terhadapnya. Kontradiksi ini harus dihadapi. Jika tidak, dari awal diskusi akan sangat dipersempit, sehingga tidak pantas disebut sebagai diskusi. Kontradiksi yang nyata ini sebaliknya bahkan menjadi diperkuat ketika kenyataan ini diingkari dan dicemari oleh tindak bahasa dan laku budaya yang efektivitasnya sangat patut dipertanyakan dalam menyikapi antisemitisme, rasisme, kolonialisme, penindasan, dan ketidakadilan global.
Selain itu, dari sudut pandang orang-orang yang terlibat dalam documenta fifteen, antisemitisme dan rasisme, yang oleh forum telah direncanakan untuk dibahas dalam debat yang berbeda, secara historis tidak dapat sepenuhnya dipisahkan meskipun keduanya memiliki perbedaan. Terlebih lagi, saat ini kedua hal ini sedang dimainkan. Menghubungkan dua fenomena ini satu sama lain tidak sama dengan menganggap bahwa keduanya sama. Ini penting disampaikan karena tuduhan antisemitisme yang diarahkan terhadap beberapa orang yang terlibat dalam documenta fifteen sebagian menampilkan kiasan yang bersifat rasis.
Ketika kritik apa pun terhadap tindakan negara Israel selalu dikecam dan disamakan dengan antisemitisme, kecaman itu dipastikan akan mendatangkan perlawanan. Perlawanan ini terutama datang dari pihak-pihak yang terkena dampak pelanggaran hak asasi manusia oleh negara Israel. Budaya Jerman yang menyamakan anti-Zionisme dan bahkan non-Zionisme dengan antisemitisme pada akhirnya meminggirkan, memfitnah, dan membungkam orang-orang Palestina dan Yahudi non-Zionis dari peperangan melawan antisemitisme dengan menuduh mereka antisemit. Forum yang dibatalkan sedianya akan menjadi wahana yang tepat untuk berdiskusi tentang kontradiksi ini, selain membincangkan definisi antisemitisme (IHRA) yang mengundang perdebatan dan contoh-contoh kontroversial “antisemitisme terkait Israel”. Pihak-pihak yang menolak debat politik ini sudah terlebih dahulu meninggalkan ajang diskusi bahkan sebelum dimulai. Alih-alih bersembuyi di balik kritik terhadap organisasi dan seleksi kuratorial panel, semestinya pihak-pihak yang bukan hanya tidak ingin membiarkan percakapan ini terjadi sama sekali, dan sekaligus bahkan ingin pula menentukan mengatur siapa dan apa yang dianggap dapat diperdebatkan serta membungkam suara-suara yang mereka tidak setujui, harus menyatakannya dengan jelas dan secara terbuka pendapat itu di depan umum. Praktik ilmiah tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya debat terbuka. Pertarungan yang efektif melawan antisemitisme membutuhkan praktik ilmiah sebagai landasan. Jika debat ini dihambat, akan jauh lebih sulit untuk melawan ancaman teror dan kekerasan antisemit yang sesungguhnya.
“Pedang tajam” tuduhan antisemitisme yang tersohor dikenal ampuh untuk mengakhiri karir seseorang di Jerman dan sekitarnya, harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab serta tidak boleh dijadikan instrumen secara politis berdasarkan asumsi atau kenyataan yang sebenarnya tentang “kedekatan ke BDS” baik terhadap individu maupun kolektif. [4] Mengabaikan tuduhan antisemitisme pada akhirnya meremehkan dan melemahkan perjuangan melawannya. Wacana yang mengandaikan antisemitisme hanya karena “kedekatan ke BDS” ini justru mereproduksi kiasan antisemit yang menggabungkan menyamakan tindakan negara Israel dengan orang-orang yang beridentifikasi Yahudi atau Orang Yahudi. Menyamakan BDS dan antisemitisme sangat bermasalah secara akademik, baik di dalam maupun di luar komunitas Yahudi. Penyamaan seperti itu harus menjadi bahan perdebatan, dan sama sekali tidak dapat dijadikan cara untuk menyatakan seseorang atau sesuatu sebagai antisemit. Menyensor, menghakimi orang karena kaitan dengan sesuatu yang lain, mencemarkan nama baik orang-orang melalui tindakan rasis, dan penyebaran rumor—yang diulang-ulang tanpa kritik—berpotensi membuat kerjasama budaya internasional di Jerman menjadi mandek.
Jika dilihat kembali, menurut kami forum yang dibatalkan tersebut adalah upaya yang terhormat tetapi sia-sia untuk merumuskan tanggapan yang baik terhadap pertanyaan yang buruk. Tidak ada satu pun pertanyaan tentang tuduhan antisemitisme terhadap beberapa seniman documenta fifteen dapat dijawab “benar”, karena bagi penggugat, tertuduh sudah dipastikan bersalah sejak awal. Pada gilirannya, terdakwa berhak merasa kesal karena harus membela diri terhadap tuduhan yang beritikad buruk bahkan sebelum kontribusi artistik mereka dilihat, didiskusikan, dan diperdebatkan. Forum yang dibatalkan tersebut berupaya untuk mengumpulkan panel ahli dengan pendapat berbeda yang dapat menjelaskan dan memperdebatkan premis awal debat ini agar dapat lebih memahami posisi para pihak yang terlibat. Karena pada kenyataannya, sejumlah pihak memang bahkan tidak tertarik untuk berdebat tetapi lebih suka menyebarkan fitnah dan rumor, dan upaya ini gagal. Dengan demikian, kegagalan awal forum juga merupakan kegagalan debat Jerman tentang antisemitisme dan rasisme.
ruangrupa, tim artistik documenta fifteen dan para kurator forum yang gagal diselenggarakan
[1] Perlu diingat juga kampanye menentang Achille Mbembe, yang diundang untuk memberikan pidato utama di Ruhrtriennale, sebagai salah satu dari banyak contoh kasus yang terjadi baru-baru ini. Hal yang serupa di antara semua kasus ini adalah bahwa penyensoran dilakukan melalui tindakan tidak langsung, baik berupa pembatalan undangan untuk tampil, pembatalan total acara yang sudah direncanakan, atau penarikan dukungan dana atau ruang.
[2] Khalili adalah direktur sebuah pusat kegiatan kebudayaan yang didirikan pada tahun 1996 yang dinamai Khalil al-Sakakini, tokoh yang meninggal pada tahun 1953. Jika mengacu kepada logika tuduhan, para staf Konrad-Adenauer Stiftung asal Jerman seharusnya juga bertanggung jawab atas semua pernyataan dan tindakan politik yang disampaikan dan dilakukan lembaga itu atas nama lembaganya. Pembahasan tentang sosok Sakakini dan segala kontradiksinya akan membuka kemungkinan untuk memulai perbincangan tentang nasionalisme, dekolonisasi, dan modernitas yang juga relevan dengan konteks global kontemporer. Dengan mengecam secara ahistoris terhadap Sakakini, kesempatan ini jadi terlewatkan.
[3] Definisi Antisemitisme yang berlaku, seringkali berupa definisi singkat versi IHRA, awalnya dikembangkan secara informal untuk tujuan pemantauan. Dalam definisi tersebut melekat contoh-contoh yang umumnya ditujukan untuk mengritik Israel. Definisi tersebut telah dipakai banyak organisasi, dari pemerintah sampai klub sepakbola tanpa menyebut contoh-contoh yang bermasalah. Definisi tersebut telah banyak dikaji secara kritis , dan salah satu penelitinya, Kenneth Stern, dalam tulisannya secara terbuka mengeluhkan penggunaan definisi tersebut sebagai “senjata” politik. Dalam analisisnya tentang definisi IHRA, sosiolog Peter Ullrich menulis: “Kelemahan ‘Definisi Yang Berlaku’ tersebut adalah (penggunaannya sebagai) pintu masuk instrumentalisasi politik, misalnya untuk mendiskreditkan posisi yang berlawanan secara moral dalam konflik Arab-Israel dengan tuduhan antisemitisme. Hal ini memiliki implikasi yang relevan berimbas kuat terhadap hak-hak azasi. Meningkatnya penerapan ‘Definisi yang Berlaku’ tersebut sebagai dasar kuasi-hukum untuk melakukan tindakan administratif yang seolah-olah menunjukkan kekuatannya sebagai regulasi. Pada kenyataannya, definisi tersebut alih-alih malah menjadi instrumen yang menjadi alasan terjadinya kesewenang-wenangan. Ia dapat digunakan untuk memangkas hak-azasi dasar, khususnya hak untuk menyampaikan pendapat yang bebas tentang Israel. Bertentangan dengan tujuan awal penggunaan ‘Definisi yang Berlaku’ tersebut, tidak ada upaya lebih lanjut untuk mengembangkan definisi itu untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada”. (https://www.rosalux.de/fileadmin/rls_uploads/pdfs/rls_papers/Papers_3-2019_Antisemitism.pdf). Sebagai tanggapannya, reaksi, para pakar bidang studi Holocaust, studi antisemitisme, dan studi Yahudi yang diakui secara internasional telah mengembangkan “Deklarasi Yerusalem tentang Antisemitisme” untuk lebih jelas menggambarkan perbedaan antara posisi kritis terhadap Israel, termasuk antizionis, dan posisi antisemitisme (https://jerusalemdeclaration.org/).
[4] Komisioner Federal Jerman untuk melawan antisemitisme, Felix Klein, menggunakan frasa ini untuk mengkritik tuduhan “gegabah” antisemitisme yang dilancarkan terhadap Hans-Georg Maaßen, seorang politisi CDU dan mantan kepala intel Jerman, yang menggunakan kiasan antisemit seperti “globalis” dan terkait dengan situs web yang menyangkal Holocaust, https://www.fr.de/hintergrund/vorwuerfe-gegen-maassen-bekraeftigt-90575450.html
ruangrupa adalah kolektif yang berbasis di Jakarta, didirikan pada tahun 2000. ruangrupa adalah organisasi nirlaba yang berupaya untuk mendukung praktik seni dalam konteks budaya perkotaan dengan melibatkan pihak-pihak selain seniman dari berbagai disiplin ilmu lain seperti ilmu sosial, politik, teknologi, dan media. ruangrupa juga memproduksi karya kolaboratif dalam bentuk pameran, festival, laboratorium seni, lokakarya, penelitian, buku, majalah, dan jurnal.