TOP COLLECTION #3
Proyek riset mengenai fotografi 2012
Seniman:
Agan Harahap
Daniel Kampua
Nissal Nur Afryansyah
The House is Black ( Mahardika Yudha & Mira Febri Mellya)
Reza Afisina
Reza Mustar
Kurator:
Julia Sarisetiati
Pembukaan:
Sabtu, 21 Juli 2012
19.00
WIB – Selesai
Pameran:
21 Juli – 4 Agustus 2012, Senin – Sabtu, jam 10.00 – 21.00
RURU Gallery
Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.6 Jakarta Selatan 12820
Aktivitas fotografi seringkali terjadi pada peristiwa yang dianggap bernilai sejarah dan penting untuk diabadikan, seperti perkawinan, khitanan, kelahiran, kematian, upacara wisuda, bencana, hingga peperangan. Distribusinya juga terbatas, misalnya pada surat kabar, majalah, materi iklan cetak, serta album foto di ruang tamu. Kepemilikan kamera terbilang langka dan pengambilan gambar kerap menjadi ritual yang ”sakral” juga istimewa. Ini terjadi ketika fotografi masih berada pada era analog.
TOP COLLECTION adalah suatu proyek fotografi yang mewadahi berbagai eksperimentasi dan pewacanaan terhadap praktik fotografi. Proyek ini berusaha mengeksplorasi kembali berbagai aspek fotografi serta pengaruhnya pada kebudayaan kontemporer. Sebelumnya, TOP COLLECTION telah diselenggarakan pada 2004 dan 2006 oleh ruangrupa, di mana fotografer, peminat fotografi, peneliti, desainer grafis, pemerhati mode, bahkan musisi pernah berkumpul untuk membicarakan sejauh mana medium fotografi berkembang di tengah masyarakat.
Pada 2012, TOP COLLECTION diadakan kembali oleh ruangrupa. Edisi ketiga proyek ini mengundang para partisipan untuk mengobservasi kembali posisi dan penggunaan medium fotografi di tengah medan sosial di mana kamera adalah bagian dari organ vital perangkat komunikasi multifungsi seperti ponsel cerdas dan komputer, juga terhubung dengan ruang-ruang sosial yang virtual.
Transisi ini menyebabkan terjadinya perubahan. Fotografi, sebagai medium penghasil citraan, semakin masif digunakan dalam keseharian untuk berbagai kepentingan. Apa pun peristiwanya, dari yang dianggap penting hingga pengalaman yang paling pribadi, kini bisa dikonsumsi publik. Masyarakat menjadi lebih spontan untuk membagi berbagai momen dalam hidupnya, hingga yang paling privat sekalipun, seperti makan dan mandi. Album foto berekspansi dari ruang tamu ke layar monitor komputer, dengan tingkat aksesibilitas yang jauh lebih besar, melampaui batas ruang dan waktu. Media virtual kemudian telah menjadi bank data memori kita akan seseorang, suatu peristiwa, atau sebuah fenomena yang terjadi.
Wilayah inilah yang ingin dibicarakan lebih jauh dalam TOP COLLECTION edisi ketiga. Ketika perangkat fotografi telah menjadi medium yang begitu demokratis dan pengalaman menjadi subjek pemotret (pembuat representasi) telah dialami oleh berbagai lapisan dalam masyarakat, refleksi seperti apa yang kemudian bisa kita “baca” dari masifnya produksi, reproduksi, dan distribusi foto pada saat ini?
Mahardika Yudha dan Mira Febri Mellya, duo seniman yang tergabung dalam The House is Black, mengoleksi arsip-arsip foto kreasi anonim yang beredar di Internet. Arsip-arsip foto yang mereka kumpulkan secara spesifik merupakan tanggapan atas berbagai peristiwa dan kasus politik yang terjadi selama tiga tahun terakhir di Indonesia. Kreator-kreator anonim ini merespon foto-foto temuan dengan menjadikan para politikus atau orang-orang dengan skandal-skandal yang menghebohkan negara sebagai objeknya. Mereka berkreasi dengan metode rekayasa digital, baik sebagai bentuk opini maupun ekspresi kekecewaan terhadap kondisi politik nasional yang diartikulasikan dalam format kolase visual. The House is Black mempresentasikan proyek mereka dalam bentuk buku.
Dalam sejarah, telah begitu banyak kasus rekayasa foto yang terbukti. Kini rekayasa foto telah menjadi hal yang umum di era kamera digital dan perangkat lunak penyuntingan gambar. Fotografi memiliki sifat dasar yang alamiah, bahwa selain sebagai perangkat yang merepresentasikan kenyataan, di saat yang sama ia juga memiliki kemampuan memanipulasi kenyataan. Hal ini menarik untuk selalu didiskusikan. Foto hantu, contohnya, dianggap sebagai visualisasi dari makhluk yang sulit ditangkap oleh mata telanjang. Maka terekamnya sosok hantu sering menjadi hal yang kontroversial. Seiring dengan hadirnya beragam alat pengolah citraan digital, apa pun bisa dipalsukan. Meski demikian, fenomena penampakan hantu dalam foto tidak pernah habis dibicarakan oleh masyarakat. Makhluk halus adalah misteri. Cerita-cerita mengenai penampakan hantu telah menjadi bahan bagi masyarakat untuk berkomunikasi satu sama lain. Di sini Reza Mustar, alias Azer, mengoleksi foto-foto penampakan yang ia temukan di Internet. Ia menggabungkan foto-foto itu dengan suara hasil wawancaranya dengan orang-orang yang pernah memiliki pengalaman berjumpa atau terfoto dengan hantu.
Masih berbicara dalam wilayah rekayasa foto di era kamera digital, Agan Harahap tertarik untuk merespon fenomena foto bersama politikus atau selebriti yang kerap dijadikan bukti keakraban. Ketika seseorang memiliki keinginan dan kebutuhan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai subjek yang terhubung dengan kelompok atau kelas sosial tertentu, foto-foto macam ini kerap menjadi sarana klaim sosial. Agan Harahap menggubah kenyataan atas dirinya sendiri. Dalam proyek ini, ia bisa berteman akrab dengan siapa pun yang ia mau. Sebuah buku yang ia buat menggambarkan dirinya sebagai orang yang lincah dalam pergaulan dan memiliki hubungan baik dengan banyak individu yang terkenal, seperti politikus dan selebriti. Selain menghadirkan buku yang memperlihatkan potret diri Agan dengan individu-individu tertentu, ia juga membuka interaksi lewat Twitter dengan banyak orang. Di samping mengumpulkan foto-foto temuan serupa di dunia maya, ia mengundang siapa pun untuk membagi foto dirinya dengan figur-figur terkenal yang dikagumi dan dianggap penting.
Perkembangan kamera digital, kehadiran perangkat lunak penyuntingan gambar dan Internet telah memberi fasilitas dalam menciptakan narasi kita sendiri; kini informasi visual dapat dihadirkan dalam berbagai versi yang membawa motif dan misinya masing-masing. Ketiganya mengakomodir kebutuhan kita: dari beropini hingga berekspresi. Webcam yang terintegrasi atau tertanam dalam komputer dapat menjadi contohnya. Desain ini telah membalikkan posisi kamera dan memfasilitasi pemilik komputer untuk melakukan perekaman atas dirinya. Dengan webcam, kita bisa melihat pantulan diri kita sendiri, sehingga dengan mudah kita dapat menentukan bagaimana kita ingin direkam, baik saat sedang sendirian, bersama pasangan, teman, atau hewan peliharaan; saat sedih, marah maupun senang, dengan busana sehari-hari atau yang diniatkan secara khusus. Kapan pun dan di mana pun. Aktivitas ini biasanya terjadi di ruang-ruang pribadi, di mana aksi berekspresi dapat dilakukan dengan begitu leluasa. Lewat dokumentasi video, Nissal Nur Afryansah memperlihatkan proses perekaman diri melalui webcam. Dalam konteks fotografi, di sini dapat dilihat interaksi-interaksi yang terjadi antara tubuh dan kamera serta relasi subjek- objek: suatu upaya menguak hal-hal yang sebelumnya “tidak terlihat” dari antusiasme perekaman foto-diri para pengguna webcam.
Kapasitas kamera dalam melakukan perekaman telah memperpanjang ingatan tentang tubuh atau perilaku yang dimanifestasikan, kemudian “diawetkan” dalam bentuk dokumentasi. Foto yang dianggap sebagai representasi dari kenyataan (sandaran kebenaran) yang terbingkai, telah mengawinkan seni presentasi tubuh dengan fotografi yang membuka ruang interpretasi subjektif bagi penatap foto. Sebagai seniman performans, Reza “Asung” Afisina menyadari bahwa tubuh adalah medium presentasi. Dalam proyek ini, Asung mengumpulkan dokumentasi foto dari beragam wilayah performatif yang ia lakukan dalam keseharian. Kerabat Asung adalah pihak- pihak yang kerap mendokumentasikan aksi-aksi performatifnya. Mereka kerap menyebarkan foto-foto Asung dalam media-media sosial di ruang virtual. Asung menyadari: aksesibilitas publik terhadap foto-fotonya, secara langsung atau tidak, telah mempengaruhi persepsi orang lain dalam menginterpretasikan dirinya. Foto-foto dokumentasi pribadi inilah yang Asung kumpulkan dan tampilkan, sebagai refleksi diri dari identitas dan eksistensinya selama ini.
Sebagai sebuah proyek fotografi berbasis riset, TOP COLLECTION mencoba mengobservasi sejauh mana medium fotografi yang tersebar di ruang virtual, media cetak, dan koleksi pribadi dapat dibaca. Proyek ini menunjukkan bagaimana kerja pengarsipan dan identifikasi dapat menjembatani pembacaan terhadap foto-foto yang beredar, sehingga publik dapat memahami gagasan yang dihadirkan dalam pameran ini sebagai pengetahuan tentang budaya visual.
Julia Sarisetiati
Kurator