Pameran Tunggal Henry Foundation – Copy-Paste Extraordinaire
paintings, graphic
Kurator: Agung Hujatnikajennong
Pembukaan Pameran:
Minggu, 11 Oktober 2009
Pukul:
17.00 WIB – selesai
Pertunjukan Musik:
Frigi Frigi
Pameran:
11 – 14 Oktober 2009
(setiap hari jam 11.00 – 21.00, buka Senin sampai Sabtu)
RURU Gallery, ruangrupa
Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6
Jakarta Selatan 12820
Bukan Salin – Tempel Biasa
Banyak orang mengira bahwa praktik seni lukis adalah murni urusan cipta mencipta: Sebuah lukisan dianggap lahir dari tabula rasa manusia. Dalam anggapan itu, seorang pelukis bagaikan ‘nabi’ yang menerima wahyu dari langit. Ketika pelukis adalah nabi, maka apa yang ia lukis dianggap sama dengan ‘kebenaran’. Ketika lukisan adalah kebenaran, maka seniman adalah sosok jenius yang tak terbantahkan. Mitos tentang karya seni dan seniman ini, saya kira, perlu terus kita perdebatkan hari-hari ini.
Sejak seni rupa Barat mulai punya obsesi besar terhadap kepersisan, para seniman Renaissance Eropa seperti Jan van Eyck dan Caravaggio sebetulnya telah menggunakan perangkat bantu optik dalam melukis—ini adalah tesis pelukis Amerika, David Hockney, dalam bukunya The Secret Knowledge, Rediscovering the Lost Techniques of the Old master (2001). Dari Hockney, kita tahu bahwa, meskipun para maestro itu belum menggunakan perangkat secanggih projektor seperti sekarang, proses penciptaan (produksi) lukisan sebetulnya tidak pernah lepas dari proses salin-menyalin dan ngeblat-mengeblat. Pada titik itu kita bisa mempertanyakan mitos tentang keaslian dan kejeniusan seniman yang selama ini dipatenkan oleh sejarah seni rupa Barat.
Dengan menyinggung Hockney, saya bukannya ingin berpandangan fatalis dan pesimistis terhadap proses kreasi artistik. Di sisi lain, saya juga tidak sedang melakukan legitimasi pada praktik salin-menyalin belaka. Saya hanya ingin menggarisbawahi betapa mitos penciptaan karya seni selama ini harus dipahami dalam konteks yang baru. Apa yang dilakukan oleh Henry Irawan, a.k.a Henry Foundation, alias Batman, adalah contoh yang menarik untuk memperbincangkan hal ini.
Karya-karya dalam pameran ini dibuat dengan kesadaran penuh terhadap pentingnya proses salin-menyalin dan tempel-menempel. Sudah sejak lama, paling tidak sejak Henry mulai mempelajari teknik seni grafis di bangku kuliah, ia sadar betapa proses kreasi artistik hari-hari ini tidak pernah bisa dilepaskan dari prinsip itu. Proses pembuatan lukisannya diawali dengan sesi pemotretan dengan berbagai kostum dan pose, pengolahan citraan dengan perangkat lunak komputer menjadi gambar vektor, lantas proses transfer dari citraan grafis-digital ke atas kanvas. Judul pameran ini—yang digagas sendiri oleh Henry—menegaskan bahwa proses salin-tempel yang berlapis-lapis itu tidak hanya disadari sebagai sebuah prosedur artistik, melainkan sebagai sebuah pernyataan personal yang ideologis untuk menggambarkan logika dan semangat zaman di mana ia hidup.
Ketika persoalan teknik bisa lebih mudah terselesaikan dengan bantuan perangkat teknologi, maka seorang seniman dituntut untuk bisa mengolah dan menyelesaikan persoalan tanda-tanda visual secara unik. Henry Foundation membuktikan bahwa ia memenuhi kriteria tersebut. Jika praktik salin-menyalin pada umumnya dilihat sebagai sebuah modus produksi, maka karya-karya Henry Foundation, saya pikir, justru berhubungan dengan tataran dekonstruksi. Seperti diakuinya, selama ini Henry menyerap inspirasi dari berbagai hal dan sosok, yang kemudian ia salin dan tempel secara fragmentatif dalam proses berkaryanya. Sumber penciptaannya bukanlah suatu teks tunggal yang lengkap dan selesai: dari mulai ibunya sendiri, Pop Art (terutama Ed Ruscha, Robert Rauschenberg dan Jasper John), Julian Opie, Agatha Christie, acara televisi, komputer, istrinya sendiri: Nasta Sutardjo, Robert Smith, Islam, papan reklame perkotaan, sampai tulisan-tulisan urban graphic yang ia temui di setiap sudut kota di Indonesia (pintu masuk pertokoan, lift, toilet umum, dll.). Semua itu ia anggap sebagi tanda-tanda yang ia salin dan tempel ke dalam karya-karyanya.
Mengamati beberapa lukisan Henry (lihat misalnya: Dead End, Day Off, Fool, International Copy Paste, Modern Art Museum dan Part Time Artist) kita dihadapkan pada garapan idiom portraiture yang terdekonstruksi. Semua lukisan mempertontonkan sosok laki-laki dalam berbagai pose dan kostum. Jika lukisan-lukisan potret pada umumnya selalu memberi penekanan pada identifikasi sosok melalui wajah, maka lukisan-lukisan itu malah memperlihatkan yang sebaliknya. Sosok-sosok itu digambarkan tanpa kepala. Meskipun demikian, proporsi dan bahasa tubuhnya memberikan sugesti bahwa kita menghadapi sosok yang sama. Siapapun yang mengenal Henry, bisa dengan mudah mengidentifikasi siapa sosok dalam lukisan-lukisan itu. Tapi sekalipun tidak, dari kostum dan posenya, kita bisa menduga-duga bahwa laki-laki ini tengah menghadap kepada kita, seolah-olah tengah menegaskan eksistensinya, bahwa ia ada.
Siapapun laki-laki itu, saya menyebut lukisan-lukisan Henry adalah dekonstruksi dari idiom potret, barangkali semacam anti-potret (anti-portraiture) yang justru menolak untuk memberikan rambu-rambu identitas tentang sosok yang ditampilkan. Satu-satunya yang menjadi tanda adalah teks pada baju yang ia kenakan. Teks-teks itu seperti tengah berbicara kepada kita, siapa ia sebenarnya, dan apa yang ingin hendak ia katakan.
Penggunaan teks verbal pada karya-karya Henry harus ditegaskan sebagai pokok-soal utama dalam pameran ini. Teks “PART TIME ARTIST”, misalnya, menegaskan persoalan identitas yang dihadapi Henry sebagai seniman. Perkembangan aspek ekonomi seni dewasa ini telah menciptakan persepsi yang umum mengenai kategori seniman dan bukan seniman. Para seniman yang juga melakukan pekerjaan non-seni rupa, seperti Henry, seringkali dianggap non-profesional. Ini tentu saja anggapan salah kaprah yang menyebabkan kesenjangan dan inferioritas. Pada lukisannya, Henry justru menggambarkan sosok berkaus lengan panjang dengan teks part time artist, dalam pose yang sangat percaya diri, seperti tengah menentang semua asumsi itu.
Menarik mendengar penjelasan tentang sosok-sosok tanpa kepala dalam pameran ini. Henry beberapa kali menyebut bagaimana ia sangat terpengaruh oleh perkataan ibunya ketika ia kecil, bahwa dalam agama Islam penggambaran makhluk berkepala adalah haram, alias dilarang dan berdosa. Untuk sebagian orang, penjelasan itu mungkin terdengar agak naif. Namun buat saya, penegasan tentang larangan ‘menggambar kepala’ yang didengar dari seorang ibu memberikan rambu-rambu tentang apa yang sebenarnya hendak Henry katakan melalui lukisan-lukisannya. Gambaran pada lukisan dan pernyataan Henry menyiratkan betapa proses identifikasi dan aktualisasi diri hari-hari ini dihadapkan pada berbagai krisis dan kontradiksi. Sepertinya, pertanyaan “siapa aku?” tak mungkin bisa ditangkal dengan satu jawaban yang pasti dan selesai. Sebelum menemukan jawaban, kita bisa dibuat bingung oleh pilihan pertanyaan yang akan kita ajukan: “Apakah kamu Islam?”, atau “Apakah kamu seniman?”
Seperti yang tersirat dalam pameran ini, kita menyalin dan menempel model identitas yang berbeda setiap hari, seperti halnya ketika kita harus mengenakan model kaus yang berbeda-beda agar tidak terlihat membosankan. Pada jam-jam tertentu kita bisa menganggap diri kita seniman, menjadi musisi di jam-jam lain, lantas menjadi suami yang Islami di waktu-waktu yang dihalalkan. Besok kita bisa mengklaim diri sebagai musisi, desainer grafis dan pelukis yang Islami sekaligus. Sekali lagi, ini bukan pandangan yang fatalistik. Buat saya, menyatakan hal ini sebagai sebuah kebebasan untuk memilih adalah sebuah kesadaran yang jauh lebih bernilai daripada fanatisme buta.
Bandung, Oktober 2009
Agung Hujatnikajennong
Kurator Pameran
LIPUTAN MEDIA:
Creatvetrees-Online-Pameran Copy Paste-Henry Foundation-RURU Gallery-2009
Deathrockstar-Online-Pameran Copy Paste-Henry Foundation-RURU Gallery-2009
SUAVE-Online-Pameran Copy Paste-Henry Foundation-RURU Gallery-2009